Otsus Gagal

Ketidak konsistenan Pemerintah Pusat dalam mengakomodir setiap persoalan diatas mengakibatkan konflik yang berkepanjangan terhadap Rakyat Rapua. Hal ini terjadi pada saat awal reformasi di Indonesia tahun 1998, Rakyat Papua menyatakan sikap yang tegas ingin memisahkan diri dari wilayah NKRI dengan melakukan aksi-aksi yang terkonsolidasi sehingga memunculkan kongres Rakyat Papua II tahun 2000 dengan agenda utama “Pelurusan Sejarah Politik Papua”, dan Memilih pemimpin besar Rakyat Papua ‘Theys Hiyo Elluay’ yang kemudian di bunuh secara sadis oleh Komando Pasukan Khusus Indonesia pada tanggal 10 November 2001. Perkembangan situasi gerakan rakyat tersebut memunculkan kompromi antara pemerintah pusat dan elit politik papua yang moderat sehingga melahirkan Otonomi Khusus (OTSUS) Papua, sebagai jalan tengah penyelesaian konflik. Aspirasi Rakyat Papua yang menuntut Merdeka secara politik dan komitmen Pemerintah untuk membangun Rakyat Papua dapat di formulasikan dalam bentuk aturan-aturan yang tertera dalam Undang-Undang Otonomi khusus No.21 Tahun 2001 yang memiliki Empat pilar utama sebagai roh (komitmen) antara lain :
- Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagai lembaga kultural yang memainkan peran pengawasan dan penyambung aspirasi penduduk asli Papua, yang terdiri dari kalangan adat, agama, dan perempuan;
- Komisi Hukum Ad Hoc, yang berfungsi sebagai badan penasehat bagi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan MRP dalam menyusun Perdasus dan Perdasi dalam kerangka implementasi Otsus;
- Pembentukan Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan Pengadilan Hak Asasi Manusia, kedua lembaga yang berhubungan dengan kebutuhan perlindungan dan kemajuan serta pemenuhan HAM;
- Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Peradilan HAM, Secara politik lembaga ini ditujukan untuk menjelaskan berbagai masalah kekerasan di masa lalu dan mencari langkah – langkah rekonsiliasi.
