Oleh : Kornelis Kewa Ama
Jayapura, Papua memiliki keragaman keunikan khas daerah, seperti noken, saly, honay, koteka, ukiran,
dan sebagainya. Meski kemajuan pembangunan dan informasi telah
menempatkan keunikan-keunikan itu sebagai sesuatu ketertinggalan, tetapi
memberi makna sebagai kearifan budaya dan tradisi lokal. Runyamnya,
keunikan tersebut tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah
setempat.
Wakil Ketua DPR Papua Paskalis Kosay di Jayapura mengemukakan, ada
beberapa peralatan tradisional yang ditinggalkan nenek moyang dan masih
bertahan sampai hari ini. Misalnya, noken (bahasa daerah Biak,
artinya tas), keranjang yang digunakan kaum pria dan wanita di Papua.
Noken merupakan salah satu bentuk aksesori yang paling diminati
masyarakat.
“Tidak hanya masyarakat pedalaman, tetapi para pejabat dan kaum
intelektual pun memiliki noken (tas) untuk menyimpan buku dan barang
kebutuhan lain,” papar Kosay beberapa waktu lalu.
Noken terbuat dari tali hutan (kayu) khusus yang tidak mudah putus,
seperti rotan atau pohon lainnya. Noken mengalami perkembangan cukup
bagus dibandingkan dengan fasilitas tradisional lainnya. Setelah noken
dianyam, diberi warna-warni sehingga berpenampilan lebih memikat
pemilik. Noken dihargai antara Rp 15.000 – 100.000 per buah.
Saat ini noken lebih banyak ditemukan di Paniai. Daerah ini dikenal sebagai gudang noken. Namun, penduduk setempat menyebutnya agiya. Di Paniai dikenal enam jenis agiya, yakni goyake agiya, tikene agiya, hakpen agiya, toya agiya, kagamapa agiya, dan pugi agiya.
Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Paniai Thomas Adi
menyebutkan, jenis-jenis agiya ini dibedakan sesuai bahan, bentuk,
warna, dan pemakaian dalam suku.
Di Paniai dikenal ada lima suku, yakni Mee menguasai goyage agiya, suku Dani menguasai tikene agiya dan hakpen agiya, suku Ekari menguasai jenis toya agiya, suku Nduga memiliki kagmapa agiya, dan suku Moni menguasai pugi agiya.
Tetapi, belakangan ini hampir semua jenis agiya menyebar tanpa batas
suku, agama, dan warna kulit. Bahkan menyebar sampai ke seluruh Papua.
Noken atau agiya ini bagi perempuan di pedalaman biasa digunakan
menyimpan anak bayi, babi, umbi-umbian, sayur, dan pakaian. Sering
terlihat di dalam sebuah noken dengan tali digantung di bagian kepala
mengarah ke bagian punggung dan belakang perempuan. Di dalam noken/agiya
ini kadang-kadang disimpan bayi dan di sampingnya diletakkan
umbi-umbian dan sayur-sayur.
Bahan dasar agiya, yakni kulit kayu dan anggrek. Daerah Pegunungan
Tengah terkenal dengan berbagai jenis anggrek hutan. Namun,
anggrek-anggrek ini belum dikenal dan diidentifikasi secara teratur.
Tanaman anggrek sendiri belum dibudidayakan oleh masyarakat Papua.
Padahal, anggrek dapat meningkatkan kesejahteraan. Beberapa warga
pendatang mencoba mengumpulkan jenis-jenis anggrek Papua dan mengikuti
sejumlah pameran di luar Papua, sehingga menjadikan anggrek sebagai
sumber hidup utama.
Di Sentani, Kabupaten Jayapura, noken disebut holoboi, sedangkan noken besar untuk kaum bangsawan disebut wesanggen.
Saly, pakaian bawahan perempuan suku Dani, di Pegunungan Tengah Papua,
terbuat dari serat kayu atau serat pelepah pisang. Batang serat
(pelepah) pisang dihaluskan kemudian diiris dalam bentuk tali-tali
panjang, dikeringkan, kemudian dirajut menyerupai pakaian bawahan
perempuan. Belakangan bahan dasar saly dari benang dan kulit kayu
berkualitas.
Seorang perempuan suku Dani mengenakan saly pada usia lima tahun.
Bagian atas tidak ada pakaian khusus. Bagi anak-anak gadis saly yang
sama juga sering digunakan untuk menutup bagian dada. Tetapi, bagi
kebanyakan kaum ibu, bagian atas (dada) sengaja tidak tertutup dengan
maksud dengan mudah menyusui sang bayi.
Selain itu, Papua juga memiliki rumah tradisional yang disebut honay.
Rumah tradisional suku-suku di Pegunungan Tengah ini berbentuk
lingkaran dengan diameter 3-5 meter, dengan bagian atap berbentuk
kerucut. Ada honay khusus untuk ternak babi, ada honay khusus untuk kaum
pria, dan honay khusus untuk kaum wanita.
Ruangan dalam honay yang sengaja dibangun sempit serta tidak memiliki
ventilasi (jendela) ini bertujuan untuk menahan hawa dingin. Daerah
Pegunungan Tengah, seperti Puncak Jaya (5.030 m) dan Paniai memiliki
suhu sampai 5 derajat Celsius. Guna mengatasi udara dingin itu,
orang-orang pedalaman terpaksa membuat honay setinggi sekitar 2,5 meter,
dan di dalam honay itu dipasang api unggun untuk menghangatkan badan.
Tetapi, dalam perkembangan terakhir seiring kemajuan pembangunan di
daerah itu, sejumlah alat-alat tradisional Papua di atas mulai dipadukan
dengan beberapa pakaian hasil produksi pabrik. Misalnya, saly dipadukan
dengan celana pendek, bra, dan pakaian perempuan jenis lainnya.
Di kalangan perempuan terpelajar di Pegunungan Tengah, pakaian
perempuan tradisional ini tidak lagi digunakan. Bahkan, perempuan suku
Dani pun sudah sangat jarang terlihat mengenakan saly kecuali pada
upacara adat tertentu.
Pemerintah daerah setempat menganggap, noken, saly, koteka, busur
panah, umbi-umbian, dan sejumlah keunikan lain di Pegunungan Tengah
adalah suatu simbol “keterbelakangan”. Karena itu, tidak ada perhatian
serius dari pemda setempat untuk melestarikan keunikan-keunikan
tersebut. Bahkan, ada upaya pemda menghapus keunikan itu karena dinilai
sebagai bagian dari ketertinggalan pembangunan.
Belum ada satu konsep terpadu bagaimana mempertahankan sejumlah
keunikan ini sambil terus meningkatkan pembangunan, kemajuan dan
kesejahteraan di kalangan masyarakat pedalaman. Seharusnya,
keunikan–keunikan Papua tidak harus dikorbankan demi pembangunan atau
sebaliknya.
Pengalaman menunjukkan, ketika pemerintah menganggap bahwa makanan
sagu di kalangan orang Papua tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan
harus dimusnahkan, ternyata pandangan itu terbukti tidak membawa
kemajuan berarti bagi orang Papua. Sejumlah lahan sagu telanjur dibasmi,
tetapi pertanian modern seperti padi sawah tidak pernah dikembangkan di
kalangan orang Papua sejak 40 tahun terakhir ini.
Sumber : Kompas.com